Monday, December 4, 2017

MAKALAH SETRA ARIARI BAYUNG

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bali dikenal sebagai pulau yang memiliki keunikan dalam keanekaragaman budaya dan adat-istiadat yang berbeda-beda dengan pulau lainnya yang berada di Indonesia. Dimana kebudayaan dan tradisi masyarakat Bali mempunyai keunikan antara satu desa dengan desa lainnya. Bahwa kebudayaan masyarakat Bali
dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Hindu (Majapahit). Sehingga masyarakat Bali di bagi menjadi dua bentuk yakni masyarakat Bali aga dan masyarakat Bali Yang kena pengaruh Jawa Hindu (Majapahit).
Namun dari perkembangan yang telah terjadi ada kebudayaan masyarakat Bali yang masih ajeg terutama hai ini dapat kita lihat banyak tradisi yang masih tetap dilestarikan di desa yang ada di Bali. Kalau kita menyelusuri kebudaayan yang ada didesa-desa satu dengan desa lainnya mempunyai suatu keunikan tersendiri mengenai adat-istiadat dan tradisinya. Walaupun sebagian besar masyarakat Bali mayoritas berdasarkan agama hindu. Namun pelaksanaan mengenai upacara yang religius antara satu desa dengan desa yang lainnya mempunyai suatu perbedaan. Oleh karena itu setiap desa yang ada di Bali tidak ada mempunyai keunikan kebudayaan yang sama dengan desa lainya. Hal inilah membuat Bali terknal dimata internasional sebagai pualu yang mempunyai beragan kebudayaan.
Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa yang otonom dalam artian desa Bayunggede mempunyai kepemimpinan tersendiri dibidang adat-istiadat maupun dinas. Desa Bayung Gede berada dipulau Bali di kabupaten Bangli kecamatan Kintamani yang mempunyai keunikan yang berbeda yang tidak dapat dijumpai didesa lainnya yang ada di pualu Bali. Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Desa Bayung Gede yang kami jumpai adalah penguburan ari-ari bayi yang berbeda yang tidak dapat ditemuai desa yang lainnya yang ada di Bali. Secara umum masyarakat Bali biasanya mengubur ari-ari bayi dipekarangan rumahnya. Namun masyarakat yang ada di Desa Bayung Gede mempunyai suatu perbedaan dimana masyarakat Desa Bayung Gede melahirkan bayi, ari-ari bayi tersebut tidak dikubur dalam pekarangan rumah melainkan ari-ari bayi tersebut ditaruh dalam tempurung kelapa kemudian digantung dipohon yang ada pada lokasi yang khusus, hal ini tidak dapat dijumpai di tempat lain.
Selain keunikan yang telah disebutkan diatas, juga ada beberapa keunikan yang dapat dijumpai dii Desa Bayung Gede yang tidak dapat ditemukan didesa lainnya yaitu, adanya suatu larangan menikah dengan dengan saudara sepupu (misan). Jika melanggar maka dikeluarkan dari desa tersebut dan dibuatkan rumah pada lokasi yang telah disediakan masyarakat. Hal ini mencerminkan adanya suatu pengendalian sosial di dalam kehidupan masyarakat Desa Bayung Gede. Upacara yang ada di Desa Bayung Gede cukup padat baik upacara keagamaan di pura-pura maupun upacara yang berdasarkan atas tradisi adat-istiadat. Keunikan mengenai arsitektur bangunan rumah penduduk di Desa Bayung Gede mempunyai tiga struktur 1) Dapur yang juga tempat tidur orang tua, tempat melahirkan bayi, dan tempat mayat jika seorang keluarga meninggal; 2) Bangunan tempat tidur anak dan tempat penyimpanan alat-alat upacara; 3) Bangunan tempat penyimpanan padi. Disamping itu mempunyai keunikan mengenai bangunan tempat suci yang berada di Desa Bayung Gede . Adanya suatu aturan (awig) untuk memasuki pura puseh yang berbeda dengan tempat lain, Yaitu bagi masyarakat Desa Bayung Gede yang laki-laki apabila telingga tidak dilobangi dilarang masuk kepura begitu pula bagi wanita yang sudah menikah juga dilarang masuk kepura tersebut kecuali sudah menjalankan upacara tertentu.
Keunikan-keunikan yang dimiliki oleh desa Bayung Gede sangat menarik untuk diteliti. Karena sangat sulit dijumpai ditempat yang lain. Keunikan yang dimiliki oleh Desa Bayung Gede dapat dikembangkan sebagai pusat pengembangan pariwisata yang dapat dijadikan daya tarik wisata untuk datang berkunjung ke Bali dan dapat dijadikan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Berangkat dari kajian konseptual dan kondisi empiris di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada upaya penelusuran tentang prosesi dan makna penguburan sisten gantung yang unik di Desa Bayung Gede, khususnya penguburan ari-ari dengan sistem gantungnya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang dikedepankan di atas, maka masalah yang ingin ditelaah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Sejarah Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede ?
2. Bagaimanakah Prosesi Ritual Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede ?
3. Bagaimanakah Makna Relegius Penguburan dengan Sistem Gantung bagi Masyarakat Desa Adat Bayung Gede ?
4. Bagaiamanakah Pandangan Masyarakat Terhadap Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut :
1. Mengetahui Sejarah Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede.
2. Mengetahui Prosesi Ritual Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede.
3. Mengetahui Makna Relegius Penguburan dengan Sistem Gantung bagi Masyarakat Desa Adat Bayung Gede.
4. Mengetahui Pandangan Masyarakat Terhadap Penguburan dengan Sistem Gantung di Kalangan Masyarakat Desa Adat Bayung Gede.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini akan dibatasi pada masalah-masalah atau aspek-aspek tertentu untuk menghindari keluasan pembahasan dan kajian. Adapun penelitian ini akan difokuskan pada: “upaya pengungkapan sistem penguburan ari-ari digantung dengan kebertahanan nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat desa adat, khususnya pada masyarakat desa adat Bayung Gede Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Kebudayaan Masyarakat Bali
Masyarakat Bali saat ini sedang menentukan pilihan. Itulah kesimpulan para pakar dalam Simposium yang bertajuk " Kebalian Orang Bali" yang berlangsung di Denpasar beberapa waktu lalu. Kalangan pakar budaya berpendapat bahwa masyarakat Bali dewasa ini sedang mengalami masa transisi budaya, sebagai dampak ekternal dari pengembangan industri pariwisata. Banyak nilai-nilai budaya asli daerah telah terkontaminasi oleh nilai-nilai asing, sehingga nilai budaya asli semakin kabur. Disisi lain ada juga budayawan yang berpendapat, bahwa pada dasarnya budaya Bali masih tetap ajeg yang berubah hanyalah penyajiannya yang semakin fleksibel dan dinamis sebagai dampak dari pengaruh budaya luar (Crock, 1998). Hal itu dianggap logis, karena Bali sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada bidang kebudayaan.
Keadaan yang antagonis ini, pada dasarnya disadari dan diakui oleh masyarakat Bali. Orang Bali menyadari bahwa orientasi dan sikap mereka terhadap nilai-nilai budaya sudah berubah, namun mereka tetap memandang dan berkeyakinan nilai-nilai adat dan budaya yang dimilikinya masih utuh dan ajeg (Bagus, 1996). Bagi mereka hal itu dianggap wajar, karena Bali sebagai salah satu komunitas dengan karakteristik tersendiri berada dalam era globalisasi dan revolusi informasi dunia sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Benarkan masyarakat Bali sedang dihadapkan pada pilihan terhadap orientasi dan budayanya sendiri ?. pertanyaan ini menarik untuk dikaji secara mendetail, dan untuk membedahnya diperlukan pisau analisis yang teramat tajam mengenai perubahan sosial kemasyarakatan. Atmadja (1997) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, ritus perjalanan budaya Bali dan adat istiadatnya pada dasarnya masih berpegang pada nilai-nilai budaya lama dengan ciri-ciri; terbuka, luwes, adaptik, religius, kolektif, estetik, dan kosmologis. Di samping itu, dia juga memaparkan tentang kondisi masyarakat Bali yang transisi, yaitu bahwa dikalangan masyarakat Bali sedang terjadi eksodus besar-besaran dalam mata pencaharian dan alih fungsi lembaga-lembaga tradisonal. Masyarakat agraris beralih ke masyarakat industri, lembaga adat dijadikan sebagai objek wisata, tari-tari keagamaan diformat dalam bentuk tarian kontemporer bagi sajian wisatawan. Berdasarkan kondisi empiris di atas, tampaknya memang benar bahwa masyarakat Bali dewasa ini sedang mengalami transisi dalam bidang kebudayaan dan sikap serta perilaku masyarakatnya.
2.2  Piramida Budaya Masyarakat Desa Bayung Gede
Bali merupakan suatu kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang secara historis memiliki persamaan nasib dan latar belakang kebudayaan. Mereka terikat dalam suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut dengan desa adat. Desa adat dipimpin oleh prajuru desa adat. Kepengurusan desa adat yang berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat secara fundamental tidak jauh berbeda dengan desa-desa di daerah lain, namun aspek-aspek dari sistem pelaksanaannya berbeda. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari kemajuan masyarakat itu sendiri maupun pengaruh dari dunia luar (pariwisata).
Tipe pemerintahan desa adat yang berlaku pada masyarakat mengikuti pola "lulu apad" (struktur desa adat) yang didasarkan dari waktu pelaksanaan upacara parebuan (perkawinan). Sistem kepimpinan desa adat bersifat kembar, dimana pimpinan desa adat dipegang oleh dua orang jero kubayan, yaitu Jero Kubayan Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman. Kedua orang pemimpin desa adat ini dibantu oleh saih nembelas dalam menjalankan tata kehidupan adat istiadat desa.
Dilihat dari tata cara pengangkatannya, saih nembelas ini didasarkan pada tegak desa adat (lulu apad). Kriteria penempatan orang atau anggota masyarakat dalam kategori lulu apad ini adalah berdasarkan waktu mereka melaksanakan upacara perebuan (ngaturang bakti ke pura Tri Kahyangan) dan mamitin desa (keluar dari kategori "sebel urip"). Syarat pengangkatan pimpinan desa adat ini memiliki beberapa pengecualian, yaitu walaupun secara tegak desa orang atau anggota masyarakat telah menyandang predikat saih nembelas, bila orang tersebut memiliki cacad fisik maka pengangkatannya akan dibatalkan dan digantikan oleh anggota di urutan berikutnya. Posisi pimpinan desa adat ini secara sosiologis bersifat kolektif. Posisinya sebagai pimpinan desa adat akan digantikan atau diberhentikan apabila anak terkecil sudah menikah atau istrinya meninggal dunia. Sebagai imbalan atas jasa dan jabatannya sebagai prajuru adat, kepada mereka diberikan hak kelola atas tanah laba pura yang diistilahkan dengan "bukti". Bukti ini akan dicabut kembali apabila mereka telah berhenti menjabat sebagai saih nembelas, dan akan diberikan kepada mereka yang menggantikannya.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilihat dari pendekatannya menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Melalui pendekatan penelitian ini, peneliti akan mencoba untuk mengungkapkan berbagai persoalan yang menyangkut penguburan ari-ari dengan sistem gantung dan kebertahanan nilai-nilai budaya dan adat istiadat di kalangan masyarakat desa adat Bayung Gede, Semua data yang diperoleh tersebut, nantinya akan diuraikan secara sistematis dan aktual dalam bentuk kata-kata secara deskripsi.
3.2  Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek penelitian atau responden ditentukan secara bertujuan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan data penelitian, maka subjek dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Prajuru Desa Adat (pengurus desa adat), (2) pengurus desa dinas (kepala desa dan stafnya), (3) masyarakat desa adat Bayung Gede dan (4) teruna-teruni (ketua organisasi teruna-teruni ).
3.3 Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan beberapa alat yaitu:
1). Wawancara
Tehnik ini akan digunakan untuk mengunmpulkan data tentang budaya penguburan ari-ari dengan sistem gantung yang terjadi di kalangan masyarakat desa, kebertahanan desa adat, dan pandangan masyarakat terhadap makna religius penguburanh sistem gantung

2). Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti juga akan melakukan pengamatan atau observasi terhadap proses pelaksanaan upacara sistem penguburan gantung.
3). Studi Dokumentasi
Pencarian informasi tentang penguburan ari-ari bayi dan konflik sosial-budaya di kalangan masyarakat desa Bayung Gede juga akan dilakukan oleh peneliti dengan cara mempelajari atau membaca beberapa buku atau dokumen yang memuat tentang penguburan ari-ari. Data ini diperlukan untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui wawancara dan pengamatan (observasi).
3.4 Tehnik Analisis Data
Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu penelitian kualitatif, maka analisis data dalam penelitian ini juga akan menggunakan analisis data secara kualitatif dalam bentuk deskripsi, yaitu: peneliti akan mengumpulkan data mengenai penguburan ari-ari yang ada di desa Bayung Gede dan konflik sosial-budaya pada masyarakat desa adat Bayung Gede , kemudian data tersebut diuraikan secara sistematis dan sesuai dengan kondisi terkini (aktual) dalam bentuk uraian atau deskripsi). Setelah semua data dibuat deskripsinya, maka peneliti akan menarik kesimpulan terhadap keseluruhan data tersebut, yang nantinya dijadikan sebagai kesimpulan penelitian.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1  Sejarah Singkat Desa Adat Bayung Gede
Menurut dari Jro Bahu Kendri , Bahwa desa adat Bayung Gede Didasari oleh suatu cerita. Cerita ini berawal dengan diutusnya 40 orang undagi oleh Ida Bhatara Gunung semeru untuk datang ke Bali Dwipa. Tujuan mereka datang ke Bali Dwipa adalah untuk membangun puri dan gelung agung untuk putranya yang ada di gunung toh langtkir (Gunung Agung). Dalam perjalanan undagi tersebut didampingi oleh seekor Bojog putih (kera putih) yang merupakan putra dari Bhatara Bayu yang dalam cerita ramayana disebut hanoman., dengan dibekali tirta kamandalu. Tirta kamandalu ini digunakan untuk mengatasi segala rintangan ataupun petaka yang mungkin dihadapi oleh undagi dalm perjalanan menuju Gunung Toh Langkir di Bali Dwipa. Undagi tersebut tiba di Bali Dwipa bagian selatan tepatnya di alas rambut siwi dan disana mereka beristirahat sebentar. Setelah itu mereka melanjukkan perjalananya menuju Gunung Toh Langkir kearah timur laut. Sesampainya ditengah-tengah Bali Dwipa tepatnya dialas mebaong perjalanan undagi terpisah menjadi dua bagian. Bagian yang satu menuju Gunung Toh Langkir lewat alas pegametan sebanyak 20 orang sedang sisanya lewat alas Tiing Gading.
Kelompok Undagi yang lewat alas pegametan sesampainya dialas pegametan (Pura Puaji) menemukan sebuah tued (pangkal pohon) besar, kemudian mereka disana beristirahat dan sambil beristirahat tued itu dipahat menyerupai manusia laki-laki. Setelah itu melanjutkan perjalananya menuju Gunung toh Langkir lewat gunung tuluk Biyu (Bukit Abang ). Dibagian lain Bojog Putih (Kera Putih) yang memdampingi undagi tiba belakangan di alas Mebaong, dan disana Tirta Kamandalu yang dibawanya tumpah setengah. Tumpahan sekarang menjadi sebuah sumber mata air yang dikenal dengan Yeh Jati. Kemudian Bojog Putih (Kera Putih) Melanjutkan perjalananya lewat alas pegametan dan disana dia menemukan sebuah patung manusia yang berasal dari tued besar. Patung tersebut dihidupkan dengan Tirta Kamandalu yang dibawanya dan setelah hidup manusia laki-laki itu diajak ke Gunung Toh Langkir.
Setibanya di Gunung Toh Langkir manusia tersebut diaturkan kepada Bhatara Gunung Toh Langkir dan sekaligus menceritakan asal dari manusia tersebut dan apa yang dia alaminya dalam perjalananya . Ida Bhatara Gunung Toh Langkir menanyakan undagi yang lain pada I Bojog Putih (Kera Putih), karena yang sudah tiba hanya 20 orang dan sekaligus menugaskannya untuk memcarikan pasangan wanita bagi manusia laki-laki tersebut dengan melakukan yoga ditempat yang berbau perempuan serta mengetut (mencari) undagi yang lainnya. Dalam perjanan kembali I Bojok Putih tiba dialas Tiing gading tepatnya di Pura Dapdap Sakti dan disana ditemukan patung kayu laki-laki dari tued kayu (pangkal pohon) yang berisi surat mohon untuk dihidupkan, kemudian dengan tirta kamandalu yang dibawanya patung itu dihidupkan, setetah hidup diajak ikut dalam perjalananya. Dalam perjalanannya ke arah barat tepatnya dibelalu ia menemukan pohon yang berlobang tiga dan berbau perempuan serta ia meyoga di sana. Namun dalam peyogaanya tirta kamandalu yang dibawanya tumpah dan tiba-tiba telah ada seorang manusia perempuan disampingnya.
Karena tidak menemukan sang undagi I Bojog Putih (Kera Putih) beserta ketiga manusia tersebut kembali ke Gunung Toh Langkir dan sesampainya di sana ia melihat sang undagi sudah tiba, Lalu ia mengaturkan ketiga manusia tersebut serta menjelaskan asalnya. Oleh Ida Bhatara Toh Langkir ketiga manusia yang berasal dari tued (pangkal pohon) tersebut dinikahkan yaitu laki-laki yang ditemukan belakangan dinikahkan denga wanita satunya, sedangkan laki-laki yang pertama akan menikah jika ada perempuan yang mengaturkan diri. Pasangan yang menikah pertama dikasi tempat tinggal dibagian timur dan yang belum menikah dibagian barat yang dipisahkan dengan jurang. Bila masing-masing sudah mempunyai keturunan sebanyak 20 kepala keluarga maka harus menjadi satu wilayah tempat tinggal dalam satu desa Yaitu Desa Bayung Gede sekarang, Dimana yang dulunya tinggal dibagian timur menjadi tempek kangin dan yang tinggal dibagian barat menjadi tempek kauh.
Penyatuan kedua keturunan tersebutlah yang membentuk sebuah desa yang sekarang disebut Desa Bayung Geda. Nama Bayung Gede di ambil dari asal manusia pertama di desa ini yakni Kayu gede (pohon besar), sehingga disebut Bayung Gede. Ada pula yang menyebut nama Bayung Gede diambil dari Bhatara Bayu, karena manusia yang pertama diurip atau dihidupkan oleh putra Bhatara Bayu sehingga manusia itu dianggap mempunyai Bayung Gede (tenaga besar) yang kemudian menjadi Bayung Gede. Dilain pihak mengenai sejarah desa Bayung Gede juga dikatakan bahwa desa adat Bayung Gede didirikan pada tahun icaka 1055, yaitu pada masa Kerajaan Lindu Kerana pada masa itu desa Bayung Gede dipimpin oleh tiga orang empu yaitu : Empu Jaya Gama, Empu Jaya Indra dan Empu Laka (hasil pencatatan dekumentasi perencanaan lingkungan desa tradisional Bayung Gede, 1989 : 13 )

4.2  Topografi Desa Adat Bayung Gede
Desa Bayung Gede merupakan satu diantara 48 desa yang ada dikecamatan Kintamani, kabupaten Bangli. Letak desa ini relatif dekat dengan pusat-pusat pemerintahan. Jarak tempuh dari desa Bayung Gede menuju Ibu kota kecamatan + 7 km dari ibu kota kabupaten +21km dan dari ibu kota propinsi +60 km. Desa Bayung Gede mempunyai luas wilayah + 930 km dan terbagi menjadi tiga banjar atau tempek yaitu banjar desa peludu, banjar danginan mayoritas dihuni oleh masyarakat mendatang, namun tetap berpatokan pada adat-istiadat yang ada di Bayungge Gede Penelitian ini dipokuskan pada di banjar desa . Batasan dengan wilayah desa lain disekitarnya, antara lain
1. Sebelah utara : Desa Batur
2. Sebelah timur : Desa Sekardadi
3. Sebelah selatan: Desa Bonyoh, Sekaan, Abuan dan Katung.
4. Sebelah barat: Desa Belancan.
Dari segi keadaan topografi, Desa Bayung Gede merupakan desa yang berada pada dataran tinggi dengan ketinggian tanah + 900 m dari permukaan laut, dengan jurah hujan + 1000-1500 mm / tahun dan suhu rata-rata 20-24 0c. Hal ini menunjukkan Desa Bayung Gede merupakan desa pegunungan.
Secara admistratif jumlah penduduk desa Bayung Gede sebanyak 1925 jiwa dengan 517 kk yang terdiri dari laki-laki sebanyak 981 orang dan perempuan 944 orang.
Kondisi fisik Desa Bayung Gede . Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa yang ada diwilayah kecamatan kintamani bagian selatan. Desa ini terdiri dari tiga banjar yakni banjar desa, peludu dan danginan. Desa merupakan pusat desa baik dalam pemerintahan dinas maupun adatnya. Sedangkan banjar peludu dan danginan berada diwilayah desa bagian barat. Hal ini sesuai dengan tata ruang desa yaitu utara dan timur dari pusat desa dianggap daerah yang suci sehingga diwilayah tersebut tidak diperkenankan membuat suatu pemukiman /rumah tempat tinggal yang menetap. Tetapi bagi masyarakat yang memiliki tanah diwilayah bagian timur dan utara dari pusat desa dibolehkan untuk membuat pondok / tempat tinggal sementara, dengan catatan upacara-upacara mulai dari kelahiran dan kematian dilaksanakan dipusat desa. Sedangkan diwilayah desa dibagian barat dan selatan dari pusat desa diperkenankan membuat tempat tinggal yang menetap dan bisa melaksanakan upacara dari lahir sampai meninggal.
4.3  Sejarah Penguburan Sistem Gantung (Ari-ari Bayi )
Secara umum ari-ari dari si bayi yang lahir dipendam dipekarangan rumah dengan ketentuan, kalau bayi laki-laki ari-arinya disebelah kanan pintu masuk, sedangakn kalau perempuan ari-arinya disebelah kiri pintu masuk (dilihat dari dalam rumah). Namun upacara bayi lahir didesa Bayung Gede, ari-ari dari sibayi yang lahir tidak dipendam dipekarangan rumah, tetapi dibawa pada suatu tempat khusus yang disebut setra ari-ari, dengan ari-ari digantung disebuah pohon dengan berwadahkan dengan tempurung kelapa.
Sesuai dengan cerita yang dituturkan oleh Jro Bahu Kendri perbebedaan upacara ari-ari bayi yang ada di desa Bayung Gede dengan desa lain di Bali pada umumnya karena ada perbedaan Tradisi. Berdasarkan cerita tentang awal keberadaan manusia /masyarakat desa Bayung Gede yang disebut sebagai Desa Bali Mula. Desa Bali mula merupakan sebuah desa yang masyarakatnya memang asli berasal dari desa tersebut. Maryarakat Desa Bayung Gede pada mulanya berasal dari tiga buah pohon besar yang dihidupkan oleh Bhatara Bayu yang menjadi tiga orang manusia. Ketiga manusia tersebut adalah dua laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian di haturkan kepada Bhatara Gunung Toh Langkir oleh kera putih. Oleh Bhatar Gunung Toh Langkir, manusia yang ditemukan ditukad tiing gading yang berasal dari kayu dapdap sakti dinikahkan dengan perempuan yang dihidupkan oleh kera putih.
Karena manusia tersebut sudah menikah mempunyai keturunan. Kemudian I bali Mula yang sudah menikah dipanggil untuk memhadap ke Gunung Toh Langkir akan dianugrahakan pada Bali mula desa Bayung Gede adalah berupa upacara ari-ari bayi baru lahir. Ari-ari bayi tidak boleh dipendam di pekarangan rumah di wilayah pemukiman karena dianggap membuat cuntaka /ngeletehin, karena I bali mula Bayung Gede berasal dari tiga pohon kayu sakti. Namun ari-ari tersebut dibungkus dengan tempurung kelapa yang kemudian digantung pada pohon yang berbuah kembar.Maksudnya bila pohon yang berbuah kembar itu ditambah satu gantungan ari-ari menjadi tiga sebagia wujud asal I bali mula. Tempat penguburan ari-ari iti berada dilokasi selatan desa.
Mendapat tradisi seperti itu I bali mula merasa sangsi dan takut akan bau dari ari-ari yang tidak dipendam. Tetapi Bhatra Gunung toh langkir Menyakinkan I bali mula bahwa ari-ari itu tidak akab berbau karena di lokasi tersebut ada pohon yang meredakan bau tersesebut yaitu pohon yang berbau menyan.Oleh karena itu sampai sekarang ari-ari bayi yang baru lahir selalu digantungdi setra ari-ari.
4.4  Prosesi Penguburan Ari-ari (yang Dikubur Dengan Sistem Gantung)
a. Sarana dan Prasarana Penguburan Ari-ari
Dalam upcara ari-ari bayi baru lahir di Bayung Gede memerlukan beberapa sarana dan prasarana serta mempunyai Fungsi masing-masing, yaitu :
[ Tempurung kelapa, kelapa dibelah menjadi dua bagian dan diusahkan ukuranya sama besar sehingga mudah untuk disatukan kembali. Tempurung ini berpungsi untuk membungkus ari-ari bayi.
[ Ngad (pisau yang terbuat dari bambu), digunakan untuk memotong ari-ari bayi
[ Sepit (alat penjepit yang dibuat dari bambu), sepit ini digunakan untuk memegang ari-ari pada saat dipotong
[ Kunyit dan masem (Kunyit dan jeruk lemon) yang dipotong-potong yang kemudian digunakan sebagai alas pada waktu ari-ari di potong.
[ Tengeh (kunyit yang diparut kemudian dicampur dengan pamor ( kapur sirih) dan lemon), tengeh berfungsi sebagai lulur ari-ari tersebut
[ Anget-anget terdiri dari sindrong dan mica, digunakan supaya ar-ari bayi baru lahir tidak lembab dan bau
[ Tali tabu, merupakan tali yang dibuat dari bambu yang mempunyai bentuk ikatan khusus yang digunakan untuk mengikat tempurung kelapa sekaligus sebagi penggantungan ari-ari dipohon.
[ Kapur sirih (pamor), digunakan untuk merekakkan tempurung kelapa yang sudah berisi ari-ari
[ Abu dapur, abu dapur digunakan untuk meresapkan ari-ari sehingga tidak berbau.
Adapun proses penepatan sarana dan prasarana dalam upacara ari-ari bayi yang baru lahir yaitu ;
1. kelapa dibelah menjadi dua bagian
2. Ari-ari yang sudah dipotong dimasukkan kedalam tempurung kelapa
3. di atas ari-ari yang sudah ditaruh dalam tempurung kelapa di beri abu dapur.
4. Kemudian diatasnya ditaruh Kunyit, lemon, ngad, sepit tengeh dan anget-anget.
5. Setelah semua sarana dan prasarana yang digunakan ditaruh dalam tempurung kelapa,kemudian ditutup dengan belahan tempurung kelapa yang bagian atasnya.
6. tempurung kelapa yang disatukan direkatkan dengan kapur sirih.
7. Diikat dengan tali tabu, kemudian dibawa ketempat lokasi penggantungan ari-ari.
b. Lokasi Penguburan Ari-ari
Setra ari-ari lokasinya berada di sebelah selatan pusat desa Bayung Gede tepatnya di samping setra jalan menuju kuburan tempat tesebut merupakan sebuah hutan kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liar dan pohon bambu lokasi ari-ari tidak jauh dari pemukiman penduduk.
Lokasi ini dikelilingi oleh jalan melingkar yang bisa dilalui oleh kendaraan bermotor, Namun masih berupa jalan tanah yang jarang dilalui kendaraan. Luas setra ari-ari tersebut sekitar _60 are . Ari-ari bayi yang baru biasanya digantuk dipohon yang berada dipinggir-pinggir hutan sehingga mudah untuk dilihat.
c. Tempat dan Cara Menggantungkan Ari-ari Bayi
Ari-ari bayi yang sudah dibungkus dengan tempurung kelapa dan sudah diikat dengan tali tabu di bawa ketempat lokasi yang telah disediakan. Adapun cara membawa ari-ari bayi tesebut menuju kesetra yaitu Membawa dari rumah memakai tangan kiri disamping itu juga membawa peralatan untuk memotong cabang pohon yang akan dijadikan tempat menggantunggkan ari-ari. Dalam menggantungkan ari ari harus pada pohon yang bernama pohon bukak. Pohon bukak merupakan pohon yang berbuah kembar sehingga disanalah digantung ari-ari bayi tersebut. Dan dalam menggantungkan ari-ari bayi tersebut dengan memakai tangan kanan antara perempuan dan laki-laki sama memakai tangan kanan. Setelah selesai menggantukan itu mencari kayu bakar untuk dibawa pulang yang bermakna agar kelah bayinya rajin bekerja dan mencari 3 batang daun paku untuk dipakai tanda yang ditaruh didepan pintu gerbang masuk sebagia tanda bahwa orang tersebut mempunyai anak dan daun paku yang masih muda (sayur-sayuran) yang kemudian dimasak supaya bayinya pintar masak.
d. Sanksi Bagi Masyarakat yang Melanggar Sistem Penguburan Ari-ari
Sanksi yang diberikan bila masyarakat yang melanggar / tidak menggantung ari-ari di setra ari-ari
Menurut Jro Bahu Kendri pernah ada masyarakat yang tidak mengantung ari-ari bayi melainkan dikubur di pekarangan. Hal ini terjadi karena warga tsesebut merupakan warga pendatang. Oleh karena itu warga tresebut dikenai snksi atas perbuatanya berupa denda sebesar 200 keping uang bolong dan melaksanakan upacara mesayut/ /pembersihan pekarangan tempak pengburan ari-ari. Tetapi setelah kami mengadakan wancara secara langsung dengan kepala desa yang ada di Bayung Gede mengenai sanksi secara tertulis tidak ada. Selama ini masyarakat yang ada didesa Bayung gede khusunya yang berada pada kawasan desa tidak ada yang melanggar walaupun tidak ada snksi secara tertulis. Sehingga kami menemukan perbedaan pendapat yang berbeda.
4.5 Makna Religius Sistem Penguburan Gantung di Desa Adat Bayung Gede
Sistem penguburan gantung merupakan sistem penguburan yang sangat langka dikalangan masyarakat Bali. Sistem penguburan ini hanya dapat kita temui disuatu desa yang ada di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli yaitu desa Adat Bayung Gede. Di desa Bayung Gede bayi yang baru lahir dimana ari-arinya akan dimasukkan ketempurung kelapa yang selanjutnya ari-ari itu digantung pada pohon Bukak.Adapun makna religius dari sistem penguburan gantung ini adalah agar masyarakat desa Bayung Gede bisa menelusuri dunia, Karena ari-ari yang digantung hawanya akan diterbangkan oleh angin keseluruh dunia, dan juga sebagai pengikat bagi masyarakat Bayung Gede yang merantau agar ingat pada kampung halamannya.
Berdasarkan makna sistem penguburan sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka jika dihubungkan dengan sistem efesiensi ekonomis yang saat ini tengah melanda desa adat Bayung Gede sebagai dampak krisi ekonomi (hancurnya perkebunana jeruk), maka sistem penguburan dengan cara digantung itu memiliki makna ekonomis juga. Hal ini didasari oleh pertimbangan, bahwa penguburan dengan cara demikian, tidak membutuhkan lahan yang luas, namun tetap memiliki makna religius yang sangat tinggi.

4.6  Pandangan masyarakat Terhadap Sistem Penguburan Gantung
Menurut pandangan kaum muda ( Ketua organisasi teruna-teruni) di desa adat Bayung Gede, bahwa tradisi atau budaya tentang penguburan ari-ari dengan sistem gantung akan terus-menerus dibudayakan sebagai warisan budaya masyarakat Bayung Gede. Pihak orang muda masih tetap menganggap sistem penguburan gantung masih tetap akan bertahan dan sangat kental di dalam tubuh masyarakat desa adat Bayung Gede. Begitu pula menurut pandangan orang tua (tokoh Masyarakat) yang ada di desa Bayung Gede dimana pandangannya sama dengan generasi muda bahwa sistem peguburan gantung masih tetap akan bertahan dan sangat kental di dalam tubuh budaya masyarakat desa adat Bayung Gede.
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh data bahwa menurut orang tua dan generasi muda tetap bertahan dan kentalnya budaya sistem penguburan gantung ini tidak terlepas dari masyarakat Bayung Gede itu sendiri, dimana mereka bersama-sama berikrar untuk menyatukan pemikiran agar sistem penguburan gantung itu tetap bertahan dan juga masyarakat Bayung Gede ingin mempertahankan eksistensi dari sistem penguburan gantung yang merupakan warisan budaya pendahulu-pendahulunya. Beranjakak dari hal itulah antara kaum tua dengan generasi muda mempunyai perspektif yang sama mengenai sistem penguburan gantung yaitu bahwa sistem penguburan gantung itu akan dapat tetap bertahan karena didukung oleh masyarakat setempat untuk melestarikan budaya yang mereka warisi dari pendahulu-pendahulunya.








BAB V
P E N U T U P
5.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa poin sentral yang berhubungan dengan karya ilmiah ini untuk dijadikan kesimpulan akhir, yaitu:
1. Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa kuno yang terdapat di kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli bagian selatan yang penduduknya dominan berprofesi sebagai petani dan 100% penduduknya memeluk agama Hindu.
2. Prosesi upacara yang dilakukan di dalam penguburan ari-ari dengan sistem gantung yang ada diBayung Gede sangat tradisional.
3. Makna dari penguburan dari sistem penguburan gantung adalah agar masyarakat desa Bayung Gede bisa menelusuri dunia, Karena ari-ari yang digantung hawanya akan diterbangkan oleh angin keseluruh Maksud dari penggantungan ari-ari tersebut dunia, dan juga sebagai pengikat bagi masyarakat Bayung Gede yang merantau agar ingat pada kampung halamannya
4. Adanya persamaan pendapat antara kaum orang tua dengan generasi muda bahwa tradisi sistem penguburan gantung tetap dipertahankan segai warisan pendahulunya.
5.2  Saran-saran
Marilah kita bersama-sama menjaga tradisi yang telah kita miliki sebagai suatu kekayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita yang dapat dijadikan pedomam untuk menghargai kebudayaan masyarakat lain, termasuk sistem penguburan dengan cara gantung yang ada di Desa Adat Bayung Gede, sebagai sebuah warisan budaya yang pantas untuk tetap dilestarikan oleh masyarakat Bali, dan masyarakat desa setempat khususnya. .


DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, N. B. (1998). “Sistem Pertanian Pada Masyarakat Bali Kuno”. Aneka Widya, VIII, Nomor 17.
Atmadja, N. B. (2003). Desa Adat: Aset Bagi Pengembangan Masyarakat Madani (Makalah). IKIP Negeri Singaraja.
Arga, (2000). Peraturan Irigasi dalam Awig-awig Subak Buleleng. Denpasar : UNUD Bali
Anonim, (1990). Desa-Desa Kuno di Bali. Denpasar: Balai Pustaka.
Griadi, W. (1999). Otonomi Desa Adat dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia. (Makalah). Denpasar: MPLA Bali
Kaler, I. G. K. (2001). Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali Jilid I. Denpasar: Bali Agung.
Kardji, I. W. (2003). Kiwa Tengen dalam Budaya Bali”. Dalam Jiwa Atmaja (ed.). kiwa-Tengen dalam Budaya Bali. Denpasar: Kayu Mas. Halaman 13-32.
Lasmawan, W. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number 017-Y-2000.
Parisadha Agama Hindu Bali, (1978). Upadesa Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu. Denpasar : Parisada Hindu Dharma
Pitana, I Gde. (2001). Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. BP.
Rtaning Jagad Bali, tt, Denpasar.
Suja, W. (2000). Titik Temu IPTEK dan Agama Hindu: Tafsir Ilmiah Ajaran Veda. Denpasar: PT. Pustaka Manikgeni.
Sujana, N. Naya. (2000). Manusia Bali di Persimpangan Jalan. Denpasar: PT. BP.
Tisna, (2000). Etos Kerja Masyarakat Bali Tradisional. UNUD., Denpasar.

No comments:

Post a Comment