Meningkatkan mutu pendidikan sangat erat hubungannya
dengan beraneka ragam faktor. Di samping faktor-Faktor yang telah disebutkan di
atas, faktor konteks, masukan dan
proses sebagai komponen dalam
model CIPP dari Stufflebeam
mempunyai pula hubungan dengan mutu pendidikan. Mutu pendidikan adalah suatu
keadaan yang meliputi masukan, proses dan hasil dari suatu kegiatan pendidikan
di mana karakteristik yang dibutuhkan dicapainya (Depdiknas 2001 a : 25).
Depdikbud (1997 b : 17) menyebutkan, bahwa untuk
keperluan studi evaluatif ternyata model CIPP
paling mendekati tingkat keberhasilan pembangunan nasional di bidang pendidikan
yang berorientasi pada kualitas.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui
secara eksplisit bahwa konteks, masukan dan proses sebagai komponen dari
model CIPP erat hubungannya
dengan mutu pendidikan.
Konteks, penilaian terhadap latar erat
hubungannya dengan mutu pendidikan. Kondisi ini tampak pada latar suatu program
yang berkualitas akan memberi dampak terhadap mutu pendidikan. Ini bisa
diketahui dari pendapat beberapa ahli dan hasil penelitian yang mengutarakan
secara tersurat ataupun tersirat bahwa faktor latar atau konteks berhubungan
dengan mutu pcndidikan, seperti :
Evaluasi latar erat kaitannya dengan penentuan latar
dan situasi di mana suatu keputusan akan diberlakukan, dan juga dengan tujuan
yang harus dicapai sebagai realisasi dari kebutuhan itu sendiri. Di samping itu
evaluasi latar terkait pula dengan langkah-langkah dalam merencanakan
perubahan-perubahan yang perlu segera diambil. Kemudian Worthen (1997:98)
menyatakan, bahwa evaluasi konteks menetapkan apa yang dibutuhkan oleh suatu
program untuk mencapai program tersebut sedangkan Stufflebeam ( 1981 : 104 )
analisis konteks adalah kombinasi dari kondisi-kondisi sekitar objek evaluasi
yang mempengaruhi fungsinya, seperti profesional yang relevan, sifat atau ciri staf, iklim
sosial serta kondisi ekonomi.
Tayibnapis
(2000:14) juga menyatakan, bahwa evaluasi konteks membantu
merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program
dan merumuskan tujuan program.
Sudjana (1996:128) penilaian konteks terutama ditujukan untuk menyajikan
alasan-alasan sebagai dasar dalam menentukan tujuan
program agar lebib feasibel dengan kondisi dan situasi
di mana program itu akan dilaksanakan. Dengan demikian faktor konteks, sebagai
latar yang mendukung kesiapan guru erat hubungannya dengan mutu pendidikan,
dalam artian jika konteksnya berkualitas, maka mutu pendidikannya pun akan
berkualitas.
Masukan (Input), sebagai daya dukung suatu program berhubungan
pula dengan mutu pendidikan. Input
pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Kesiapan input
sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu,
tinggi rendahnya mutu input
dapat diukur dari tingkat kesiapan input.
Makin tinggi tingkat kesiapan input,
makin tinggi pula mutu-input serta-mutu pendidikan (Depdiknas, 7.00 la 9.5)
Sudjana (1996:128)
penilaian masukan atau input
ditujukan untuk memperoleh informasi dan menyajikan keterangan yang dijadikan
dasar dalam menentukan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mencapai tujuan.
Worthen (1997 :98), bahwa evaluasi Input
adalah menetapkan suatu struktur. Menentukan sumber-sumber apa yang tersedia,
strategi alternatif dan rencana apa yang memiliki potensi terbaik untuk memfasilitasi
kebutuhan penyusunan suatu program. Dari paparan di atas, dapat pula diketahui
bahwa faktor masukan ada
hubungannya yang erat dengan mutu pendidikan.
Proses adalah
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses, menyangkut kompetensi psikomotor guru yang mencandra
kemampuan guru dalam berbagai keterampilan dan perilaku dalam melaksanakan
program. Latar, dan daya dukung sebagai prasyarat berlangsungnya proses sangat
kompleks, yang implementasinya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Faktor-faktor
tersebut merupakan satu kesatuan dalam satu sistem yang erat hubungan dengan
peningkatan mutu pendidikan. Untuk menunjang kajian emperik penelitian ini,
perlu diambil dari beberapa hasil
penelitian yang relevan dengan masalah yang diteliti, antara lain :
Patricia Ann ( 1984 ) meneliti tentang “ A Study of the Potential Impact of
Curriculum Planning on Readiness ”. Hasil penelitiannya menemukan, bahwa
adanya kebutuhan dan peningkatan kesadaran pada kesiapan guru dalam perencanaan
kurikulum. Kajiannya dilakukan dengan mengukur sikap, ide dan kepercayaan guru
sehubungan dengan pengaruh kesiapan berdasarkan minat dalam perencanaan
kurikulum. Dari hasil penelitian ini, dapat diformulasikan bahwa dalam
perencanaan dan, atau pelaksanaan kurikulum sangat dibutuhkan kesiapan guru,
yang bisa diukur antara lain : dari sikap, ide, minat dan kepercayaan guru.
Supeno (1994) meneliti tentang “ kesiapan guru
dan supervisor Pengajaran di Madrasah Negeri da1am melaksanakan muatan lokal
pada bidang studi IPA dalam wilayah Jatim". Penelitian ini menemukan
hasil, antara lain; bahwa para guru kurang siap menerapkan kurikulum IPA
bermuatan lokal. Kekurangsiapan para guru, karena masih kurang menguasai
pengelolaan program belajar-mengajar, teknik dan prosedur evaluasi, prinsip-prinsip
dan penafsiran hasil-hasil penelitian untuk keperluan pengajaran serta
pengembangan kurikulum dalam bentuk satuan pelajaran.
Jika dikaji hasil penelitian itu, maka diperoleh
temuan bahwa kesiapan guru sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan dan pengembangan
kurikulum, di mana kesiapan guru dapat diukur dari perangkat kompetensi
keguruan yang meliputi kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Suwandi (1996) meneliti tentang
:"Kesiapan guru bahasa Indonesia dalam melaksanakan kurikulum 1994". Hasilnya:,
bahwa kemampuan para guru masih kurang. Kekurangan itu, pada pemahaman tujuan
pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta
penyelenggaraan tes hasil belajar. Jika dianalisis hasil temuan penelitian
tersebut, dapat diketahui bahwa kesiapan guru yang berupa kompetensi atau
kemampuan profesional guru sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kurikulum.
Sukamto ( 2000 ) da1am penelitiannya tentang
" Evaluasi kurikulum 1994 menurut persepsi guru dan siswa SMU di daerah
Istimewa Yogyakarta”, menemukan hasil antara lain : adanya keterbatasan
persepsi masing-masing guru karena pemahaman dan konsep dasar dan rambu-rambu
pelaksanaan kurikulum 1994 belum seluruhnya merata, guru mendapatkan kesulitan
dalam melaksanakan KBM, serta kekurangan media pembelajaran sebagai penunjang
proses kognitf siswa. Dari hasil penelitian itu, dapat dianalisis bahwa dalam
melaksanakan kurikulum, para guru perlu mempunyai persepsi ( kesiapan kognitif
) pada konsep dasar dan rambu-rambu pelaksanaan kurikulum serta perlunya
fasilitas (media) yang memadai sebagai penunjang proses pembelajaran.
No comments:
Post a Comment