Jero Gde Balingkang, iyang berarti Keraton Besar Raja bali.
Dengan
data-data serta analisis tersebut tadi,
maka dapat diambil petunjuk bahwa Pura dalem Balingkang pada
mulanya adalah Keraton Raja
mayadanawa yang menguasai Pulau Bali pada
tahun 1255 M. siapa sebenanya Raja Mayadanawa? Pertanyaan ini belum
bisa dijawab dengan pasti, karena bila
masa pemerintahannya dihubungkan dengan prasasti-prasasti yang ada di Bali, kita akan
menjumpai nama raja-raja
lain. Apabila kita memperhatikan keterangan
dalam kitab Negara
Kertagama ada disebutkan bahwa Raja
Kertanegara dari Singasari, menyerang
Bali pada tahun .
boleh jadi Raja mayadanawa
inilah yang dikalahkan oleh Kertanegara. Setelah Rja Bali kalah,
Kertanegara mengangkat Patih
Kebo Rarud sebagai pejabat tinggi
di Bali yang bertindak atas
nama Raja Singasari dengan sebutan raja patih. Kebo Rarud menghormati
tempat suci pernujaar, Raja Bali
terdahulu, terbukti dengan dikeluarkannya
prasasti Sukawana Ditahun M,
tentang pembebasan desa Sukawana dari
pajak dan kewajiban tertentu karena ditugaskan memelihara tempat suci di Bukit Penulisan.
Dalam perjalanan
sejarah Bali lebih lanjut, maka setelah pemerintahan di Bali
dipegang oleh raja-raja
Jawa terutama pada
masa yang lebih kemudian yakni masa Dalem
Ketut Ngalasir yang bergelar
Sri Semara Kepaksian, masyarakat Bali Age yang tidak mau tunduk kepada
pemerintahan dinati Sri Kresna
Kepaksian mendirikan Pura Dalem Dasar Gelgel guna
meletakkan dasar-dasar pemerintahan
di Bali serta untuk menarik perhatian
masyarakat Bali Age.
Walaupun demikian, namun perhatian Dalem
Ketut Ngalesir rupa-rupanya belum
tertuju kepada bekas keraton Mayadenawa Kini
bernama Dalem Balingkang, sebagai
pemujaan masyarakat Bali Age.
Adapun pendirian bangunan-bangunan Pura Dalem Balingkang yang berlanjut sampai
sekarang adalah mempunyai sejarah tersendiri. Tatkala Dewa
Agung mayun Sudha dari Pejeng
mendapat serangan dari Gianyar, Blahbatu, Peliatan dan Ubud pada waktu itu Dewa
Agung mayun Sudha
menyelamatkan diri ke Bangli (minta suaka
politik) dengan diiringi oleh rakyat sebanyak 100KK, maka Dewa Agung Mayun
Sudha pergi ke tempat
bekas keraton Balingkang untuk melakukan Yoga-Semadi
, sambal mencari tanah yang cocok untuk
pertanian. Dikompleks Pura dalem Balingkang sekarang, pada waktu itu merupakan semak belukar belum
ada bangunan-bangunan
seperti Pura sekarang, yang ada hanya
bekas-bekas bangunan serta denah-denah
bangunan yang tidak jauh
berada dengan denah Pura Dalem Balingkang sekarang. Peristiwa itu
terjadi sekitar abad ke 18. Rupa-rupanya daerah pedalaman
sekitar Balingkang baik untuk
tanah pertanian, sehingga beliau
memilihnya sebagai tempat pemukiman
bersama-sama dengan pengiringannya dan
di sanalah beliau
menetap. Beliau sering pula tinggal di
Bonyaeh dan di tanah
Gambir untuk mendapatkan tanah
pertanian yang lebih baik. Pada hari-hari yang baik
beliau selalu dating kebekas Keraton
Balingkang untuk bersemadhi.
Pada
suatu ketika terkala
beliau bersemadhi, beliau
mendapat wahyu (pewsik) dan
bhatara disana agar beliau mendirikan kembali Pemuspan atau Pelinggih di Balingkang. Tentang wahyu itu
dilaporkan ke Puri Bangli dan juga
kepada Dewa Agung di
Klungkung atas persetujuan Raja Bangli
dan Dewa Agung Klungkung maka
didirikanlah pelinggih-pelinggih
di Balingkang.
Setelah
pelinggih selesai di bangun,
maka Dewa Agung Mayun sudha
mohon kepada Raja bangli agar
diijinkan menggempur Desa
Petak di Gianyar, akhirnya desa Petak yang terdiri dari 10 banjar
dikalahkan oleh Bangli
dibawah pimpinan Dewa
Agung Mayun Sudha. Setelah beliau
meninggalkan tempat tinggal
beliau di Balingkang, lalu menetap di Desa Petak. Dari
Desa Petak beliau menyungsung
Pura Dalem Balingkang sedangkan untuk ngemong Pura itu disuruhkan
kepada Desa Pinggan dan diberikan laba Pura seluas 17 ha, yang terdiri dari tanah
dan perkebunan.
Atas
dasar uraian tersebut diatas, bahwa Pura
Dalem Balingkang yang
Sekarang adalah bekas
keraton Raja Bali Kuno yang
samapai sekarang masyarakat sekitarnya
menyebut “Jero Gde Dalem Balingkang” yang artinya tempat Pemujaan Raja Bali.
No comments:
Post a Comment