Makna Kesetiakawanan/Kebersamaan
Manusia
sebagai mahluk sosial tentu tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Oleh karena itu, sikap tolong menolong dan kesetiakawanan/kebersamaan mutlak
diperlukan dalam hidup ini. Pada hakikatnya tidak dalam kesendirian, namun
selalu membutuhkan bantuan dari sesamanya terutama dalam mendapatkan kesusahan.
Konsep ini memberikan beberapa kewajiban kepadanya, yaitu kewajiban untuk terus
menerus memperhatikan keperluan-keperluan sesamanya serta dapat membagi rata
keuntungan kepada sesamanya (Koentjaraningrat,2004:62).
Kesetiakawanan
yang mencerminkan sistem nilai budaya adalah :
1.
Manusia
tidak hidup sendiri di dunia ini.
2.
Dalam
segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tergantung pada sesamanya
3.
Ia
harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik sesamanya,
tergantung oleh jiwa sama rata sama rasa.
4.
Ia
selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sesama dalam
komunitas terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Dalam
sistem nilai buadya bali terdapat suatu pandangan yang menilai tinggi kehidupan
yang didasarkan atas azas kebersamaan dan azas berbakti yang keduanya
berpangkal pada pandangan hidup masyarakat yang mengganggap bahwa manusia itu
tidak hidup sendiri di dunia ini, melainkan dikelilingi oleh komunitinya,
masyarakat dan lam sekitarnya (Tim,1990:39).
Lebih
lanjut, bahwa azas kebersamaan itu mendorong manusia untu berorientasi kepada sesamanya,
sedangkan azas berbakti menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Sesuai dengan
keyakinan masyarakat Bali, bahwa rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk yajna yang ditunjukkan kepada Tuhan/ Ida SangHyang Widhi, ditunjukkan kepada
sesama manusia serta mahluk lain juga ditunjukkan kepada alam lingkungan. Hal
itulah yang menjadi pedoman masyarakat Bali, sehingga dapat menggerakan dan
mewujudkan gotong royong, tolong menolong
dan kerja bakti dalam berbagai segi kehidupan masyarakat yang meliputi
bidang : ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan aktifitas agama.
Demikian
halnya dalam pelaksanaan upacara Ngaro, warga
Arya Madura merupakan masyarakat yang menjungjung tinggi aspek kebersamaan,
mulai dari mengadakan rapat pemaksan/semeton
pengemong Pura Dalem Madura sampai berakhirnya upacara Ngaro tersebut. Suatu upacara memerlukan rasa kebersamaan, gotong
royong yang sangat intern. Setiap aktifitas
Sosila, ekonomi termasuk upacara Ngaro, sangat memerlukan kerja sama atau bantuan
orang lain.
Bagi warga Arya Madura
sebagai pengempon Pura Dalem Madura (Pura
Dalem Kembar) meyakini bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
upacara Ngaro disiapkan dan dilakukan
secara bersama-sama. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan upacara Ngaro yang tidak mengisyaratkan adanya
perbedaan antara suatu warga/sentana dengan warga/sentana yang lain. Warga Arya
Madura sebagai warga ngarep dalam
upacara Ngaro menghendaki adanya
integrasi dan menjauhkan konflik.
Solidaritas merupakan
bentuk kebersamaan yang terjadi pada sekelompok masyarakat tertentu.
Terciptanya solidaritas dalam komunitas tertentu. Terciptanya solidaritas dalam
komunitas tertentu dilator belakangi oleh adanya kesamaan idiologi yang berlaku
pada wakti relative yang sama. Upacara yang dilaksanakan oleh warga Arya Madura
juga menciptakan kebersamaan antar penyungsung/pengempon
Pura Dalem Madura yang berada di luar Banjar Madura secara terpadu. Upacara
Ngaro dijadikan media untuk menjaga
titik “Keseimbangan”.
Dalam upacara Ngaro makna kesetiakawanan/kebersamaan
antar warga/sentana Arya Madura dapat
dilihat pada proses pembuatan banten atau
sarana upakara, seperti dalam
pembuatan jajan carca yang melibatkan seluruh warga ngarep. Mereka secara bersama-sama
bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing, yang laki-laki membantu yang
perempuan menumbuk beras untuk dijadikan tepung, secara bersama-bersama dengan
rasa kebersamaan/kesetiakawanan. Mengerjakan tugasnya masing-masing. Makna ini
juga terlihat jelas pada akhir upacara
Ngaro, mereka berebut banten
ajuman/rayunan dengan gembira penuh rasa bahagia.
Warga Banjar Madura
yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (trah)
dan lebih besar dari trah Arya
Madura (Arya Kuda Pinolih) memiliki tatanan kehidupan, norma-norma serta
kebiasaan yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Dari awal sampai akhir
pelaksanaan upacara Ngaro, Warga
Banjar Madura secara bersama-sama, saling isi mengisi dan mendukung segala
kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan uapaca Ngaro tersebut. Mereka berbaur menjadi satu, tidak memandang status
sosial untuk ngaturang ayah.
Warga/sentana Arya Madura sangat yakin bahwa ngaturang ayah merupakan salah satu
bentuk yajna dan sebagai etos kerja
yang mesti dikembangkan oleh masyarakat Banjar Madura khususnya dan seluruh umat
Hindu pada umumnya. Warga Banjar Madura yang bukan keturunan Arya Madura ikut
berpartisipasi dengan maturan akan
diberikan 1 (satu) banten puja yang
beralaskan ron (daun enao).
Disisi lain makna
kesetiakawanan/kebersamaan dalam upacara Ngaro
yaitu dilihat dari pelaksanaan
upcaranya dihadiri oleh warga/sentana Arya
Madura yang berada di luar Banjar Madura Desa Pakraman Intaran Desa Sanur Kauh,
mereka datang mempunyai tujuan yangs ama yaitu memuja dan memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang
Baruna untuk
memperoleh kesejahteraan, keharmonisan dan kebahagiaan abadi leluhurnya.
No comments:
Post a Comment