Friday, November 9, 2018

Metode Bermain Peran (Role Playing)

Metode Bermain Peran (Role Playing)
Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000) (https://sharingkuliahku.wordpress.com).

Menurut Aunurrahman (2009: 155) bahwa model bermain peran (role playing) dirancang khusus untuk  membantu siswa mempelajari nilai-nilai sosial dan moral dan pencerminannya dalam perilaku. Model ini juga dimaksudkan untuk membantu siswa mengumpulkan dan mengorganisisaikan isu-isu moral dan sosial, mengembangkan empati terhadap orang lain, dan berupaya memperbaiki keterampilan sosial.
Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang sesuai. Salah satu yang disarankan Endang Komara (2009) adalah bermain peran. Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik (http://alhafizh84.wordpress.com/).
Dalam Kuliah Online Media Pendidikan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya dijelaskan bahwa metode bermain peran (role playing) adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode bermain peran merupakan suatu cara penyampaian materi pelajaran melalui pengembangan dan penghayatan siswa yang dilakukan dengan memerankannya sebagai tokoh diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Bermain peran akan membantu siswa mengumpulkan dan menata informasi mengenai isu-isu sosial, mengembangkan rasa empati kepada teman, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial siswa, mengajak siswa dalam menyelidiki nilai-nilai pribadi dan sosial melalui tingkah laku mereka sendiri dan nilai-nilai yang menjadi sumber dari penyelidikan itu terutama para tokoh penyebar agama.
Prinsip dasar dan ciri metode pembelajaran bermain peran dapat dijelaskan sebagai berikut; Menurut Mohamad Nur (2000) prinsip dasar dalam pembelajaran bermain sebagai berikut: (a) Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya; (b) Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota adalah tim; (c) Kelompok mempunyai tujuan yang sama; (d) Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (e) Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi; (f) Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya; dan (g) Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok bermain. Sedangkan ciri-ciri metode pembelajaran bermain peran adalah sebagai berikut (a) Siswa dalam kelompok secara bermain menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai; (b) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender; (c) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
Secara implisit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaauntuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam melaksanakan metode bermain peran di kelas menurut Hafiz Muthoharoh adalah:
Bila sosiodrama baru ditetapkan dalam pengajaran, maka hendaknya guru menerangkannya terlebih dahulu teknik pelaksanaanya, dan menentukan diantara siswa yang tepat untuk memerankan lakon tertentu, secara sederhana dimainkan di depan kelas;
Menerapkan siatuasi dan masalah yang akan dimainkan dan perlu juga diceritakan jalannya peristiwa dan latar belakang cerita yang akan dipentaskan tersebut;
Pengaturan adegan dan kesiapan mental dapat dilakukan sedemikian rupa;
Setelah sosiodrama itu dalam peuncak klimas, maka guru dapat menghentikan jalannya drama. Hal ini dimaksudkan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat diselesaikan secara umum, sehingga penonton ada kesempatan untuk berpendapat dan menilai sosiodrama yang dimainkan. Sosiodrama dapat pula dihentikan bila menemui jalan buntu; dan
Guru dan siswa dapat memberikan komentar, kesimpulan atau berupa catatan jalannya sosiodrama untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya.

No comments:

Post a Comment